INSENTIF PERPUSTAKAAN
Berbicara mengenai UMK, kemarin telah resmi diumumkan tentang upah minimum untuk wilayah Jawa timur oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo di Surabaya pada Sabtu (21/11/2015) dini hari. Dari situ bisa diketahui untuk besaran upah minimum kabupaten/kota (UMK) untuk 38 kabupaten/kota yang berlaku per 1 Januari 2016. Peresmian besaran nilai UMP itu tertuang melalui Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 68 Tahun 2015 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Jawa Timur Tahun 2016 tertanggal 20 November 2015.
Adapun (UMK) tertinggi adalah Kota Surabaya sebesar Rp 3.045.000, diikuti Kabupaten Gresik Rp 3.042.500, Kabupaten Sidoarjo Rp 3.040.000, Kabupaten Pasuruan Rp 3.037.500, serta Kabupaten Mojokerto Rp 3.030.000. Di susul dengan ( UMK) Kabupaten lain yang nilainya semakin kecil.
Gaung demonstrasi sudah tidak terdengar keras lagi setelah diumumkannya nilai UMK tersebut. Hal ini berbeda dengan suasana ketika jauh hari sebelum ditentukannya nilai UMK, dimana banyak kaum buruh yang menuntut nilai UMK yang lebih besar. Mungkin, kaum buruh sudah merasa puas dengan ketetapan Gubernur Jawa timur Soekarwo tersebut. Sehingga para kaum buruh sudah tidak mengadakan demo dengan gelombang besar untuk menuntut nilai UMK yang lebih besar lagi.
Diluar konteks yang saya sebutkan diatas “UMK” namun masih tetap berhubungan dengan gaji, yaitu perihal insentif untuk pengelola Perpustakaan Desa. Selama ini para pengelola Perpustakaan hanya sebatas dianggap relawan yang dimana mereka hanya mendapatkan insentif yang nilainya jauh lebih kecil dari UMK yang ada di wilayah Jawa Timur.
Untuk besaran insentif para Pengelola Perpustakaan desa, besarannya berbeda-beda yaitu tergantung pada kebijakan masing-masing kepala Desa. Adapun insentif yang ada diwilayah Sidoarjo, masih ada pengelola Perpustakaan yang insentifnya tidak lebih dari 200 ribu. Dan selama ini mereka tidak mampu untuk menyuarakan keinginan mereka guna mendapatkan insentif yang lebih layak lagi. Karena mereka juga tidak tahu harus kemanakah mereka berorasi dan berunjuk rasa seperti kaum buruh yang menuntut kenaikan UMK.
Perihal insentif, seharusnya ada aturan yang jelas minimal nominalnya sama dimasing-masing wilayah kabupaten seperti halnya UMK. Karena mereka bisa dikatakan bekerja mencerdaskan masyarakat melalui buku dan kegiatan lain yang mereka berikan melalui perpustakaan. Namun alangkah naifnya jika anda tahu, bahwa insentif mereka rata-rata begitu kecil. Apakah yang demikian itu layak untuk biaya hidup?. Tentunya tidak, namun mereka tak mampu menuntut. Karena mereka sendiri tidak tahu harus demo kemana dan pada siapa.
Para Pengelola Perpustakaan ini hanya bisa pasrah dan menerima apa yang telah diberikan oleh Pemerinatah Desa melalui ADD. Walau nilainya sangat kecil dan sangat jauh dari kata layak akan tetapi dengan iming-iming mendapatkan ‘’KMS’’ Kartu Menuju Surga para pengelola ini masih tetap menjalankan tugasnya dengan baik. Tapi apakah benar sudah minim sekali kepedulian dari pemutus kebijakan yang mengatur perihal insentif ini. Minimal memberikan insentif setengah dari UMK itu dah bagus menurut saya.
Adapun salah satu faktor tidak berkembangnya perpustakaan desa bisa dikatakan karena kecilnya insentif yang diberikan Pemerintah desa kepada pengelola Perpustakaan. Para pengelola ini juga terkadang menilai menjadi pengelola hanya semacam kegiatan sosial biasa, yang membutuhkan keihklasan tinggi. Bahkan tak jarang pengelola perpustakaan yang ada di desa sering berganti orang yang mengelola, karena pengelola sebelumnya harus mencari pekerjaan yang lebih layak dari segi gaji.
Sungguh sangat ironis sekali, disaat pemerintah gembar-gembor menyuarakan budaya literasi dan peningkatan minat baca. Tapi para pengelola didalamnya tidak ada perhatian dari segi insentif. Saya yakin walau insentifnya kecil, atau tidak ada sekalipun, pengembangan budaya baca masih tetap bisa berjalan karena mereka tulus mengembangkan budaya baca. Tapi saya yakin pula bahwa ketika para pengelola mendapatkan insentif layak, maka kinerja mereka akan lebih maksimal lagi, karena mereka sudah tidak lagi terbebani memikirkan cara mencari untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Karena mereka sudah mendapatkan insentif layak, jadi mereka bisa lebih fokus dalam kegiatan pengembangan budaya baca.
Untuk masalah insentif pengelola Perpustakaan, kota Surabaya bisa dijadikan rujukan. Karena Surabaya satu-satunya kota yang memberikan insentif layak yaitu besarannya sesuai dengan UMK Surabaya. Jika memang daerah lain belum mampu sama, setidaknya besarannya juga sama dengan mengacu pada UMK masing-masing daerah. Saya yakin, jika memang Surabaya bisa, maka tidak menutup kemungkinan daerah lain juga bisa sesuai dengan batas kemampuan masing-masing daerah.
Tapi yang saya temui realitanya, masih belum ada daerah diluar Surabaya yang bisa memberikan setengahnya saja dari UMK masing-masing wilayah untuk insentif para pengelola Perpustakaan desa. Dan inilah yang sering menjadi pertanyaan kami para pengelola Perpustakaan desa, apakah memang betul daerah kita tidak mampu menggaji kita dari setengahnya UMK saja, ataukah sudah tidak peduli pada gerakan pengembangan budaya baca dan lebih menjadikan Perpustakaan sebagai pelengkap program pemerintah semata.
0 komentar:
Posting Komentar